Sabtu, 06 November 2010

Berbagai Penyakit Mengincar PascabencanaBerbagai Penyakit Mengincar Pascabencana

Warga yang selamat dari letusan Gunung Merapi di Yogyakarta dan tsunami di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, bukan berarti bebas dari berbagai masalah kesehatan. Justru berbagai macam penyakit kini mengintai mereka setelah terjadinya bencana alam. Gunung api yang meletus antara lain menimbulkan awan panas yang merupakan campuran material letusan, seperti gas dan bebatuan berbagai ukuran. Suhu sangat tinggi, 300-700 derajat celsius, dan kecepatan lumpur sangat tinggi, lebih dari 70 km per jam, tergantung kemiringan lereng.
Letusan juga disertai hujan abu lebat berisi material batu dan pasir halus. Gas racun keluar dari rongga-rongga atau rekahan gunung (tidak hanya saat erupsi), biasanya karbon dioksida (CO), hidrogen sulfida (HS), hidrogen klorida (HCL), sulfur dioksida (SO), dan karbon monoksida (CO). Beberapa gunung yang mempunyai karakteristik letusan gas beracun, antara lain, Gunung Tangkuban Perahu di Bandung Utara, Dieng di Jawa Tengah, serta Gunung Papandayan dan Gunung Ciremai di Jawa Barat.



Luka bakar berbeda
Letusan gunung bisa menimbulkan luka bakar dari awan panas dan uap panas gunung api. Pengajar epidemiologi di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko W, mengatakan, luka bakar yang timbul akibat letusan gunung api berbeda dengan luka bakar karena api biasa atau siraman air panas. Suhu api sekitar 120 derajat celsius dan air panas setidaknya 100 derajat celsius sehingga luka yang terjadi umumnya sebatas pada kulit.
”Pada luka bakar akibat uap panas gunung api, lukanya lebih dalam, dapat mencapai otot karena suhu mencapai 400-600 derajat celsius,” ujarnya.
Selain itu, uap panas yang terhirup mengakibatkan kerusakan organ, misalnya saluran pernapasan, tergantung lama dan jarak paparan.
”Mukosa (lapisan dalam) saluran pernapasan rusak sehingga cairan terganggu. Jika panas mencapai bronkus, dapat memengaruhi elastisitas bronkus dan mengganggu pernapasan. Dampak akan lebih berat kalau mencapai trakea,” ujarnya. Sejauh mana luka bakar akibat letusan gunung api tersebut dapat disembuhkan, tergantung keparahan.
Bella Donna dari Divisi Manajemen Bencana Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, mengatakan, luka bakar luas, yakni 80-90 persen tubuh, menyebabkan kurangnya cairan tubuh sehingga mengganggu keseimbangan elektrolit, gangguan pada jantung, dan penurunan fungsi tubuh. Bahkan, mengakibatkan kematian.

Infeksi saluran pernapasan
Lontaran debu, pasir, dan gas dari letusan gunung api juga mengganggu saluran pernapasan.
”Pernapasan yang sehat mampu menyaring materi debu. Namun, terlalu lama terpapar menimbulkan dampak kronis ke saluran pernapasan dan penyakit seperti pneumonia,” ujar Tri Yunis.
Gangguan lain dapat timbul lantaran gas berbahaya. Hidrogen sulfida, misalnya, menyebabkan mual, muntah, dan pusing. Di samping itu, terlalu banyak mengisap karbon dioksida menyebabkan seseorang kekurangan oksigen dan berujung kematian. Demikian juga gas karbon monoksida yang bisa menyebabkan keracunan pada sistem saraf dan jantung.
Tebaran debu vulkanik juga bisa menyebabkan iritasi dan infeksi pada saluran pernapasan dan mata. Karena itu, penggunaan masker membantu pencegahan masuknya bahan polutan ke paru dan saluran napas. Gangguan yang mungkin terjadi karena gas dan abu vulkanik, antara lain, infeksi saluran pernapasan akut, hipersensitivitas, dan perburukan untuk yang sudah terkena gangguan paru sebelumnya.
Bencana tsunami
Bencana tsunami juga membawa banyak risiko pada kesehatan. Risiko paling banyak, antara lain, saat terjadi tsunami banyak orang tenggelam. Adapun bagi yang selamat, menurut Tri Yunis, air yang sempat memenuhi paru-paru mengakibatkan komplikasi serius.
Air yang masuk ke paru menimbulkan pembengkakan yang mengganggu fungsi paru, mengakibatkan infeksi, dan pneumonia (radang paru). Rawan terjadi pula sepsis atau infeksi umum akibat beredarnya kuman penyakit dalam darah yang biasanya disebabkan oleh bakteri.
Adapun air laut yang masuk ke dalam tubuh rawan menimbulkan masalah keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh. Pada penderita tenggelam air laut biasanya terjadi kenaikan natrium dan klorida serum sehingga perlu adanya koreksi guna menyeimbangkan elektrolit tubuh.
Masalah lain ialah mayat terendam air yang belum dikuburkan atau tersimpan berhari-hari lamanya di rumah sakit.
Racun mayat biasanya mulai tercium setelah delapan jam kematian. Umumnya, gas yang keluar hidrogen sulfida atau amonia, hasil aktivitas bakteri.
”Biasanya tidak sampai mematikan, tergantung paparannya. Namun, bisa menyebabkan akibat akut, seperti mual dan muntah,” ujar Tri Yunis.
Selain gas, dihasilkan pula cairan asam dan cairan lain yang mengandung protein beracun. Cairan dapat masuk ke tubuh bersama dengan bakteri berbahaya lainnya. Pembusukan juga mengundang serangga penyebar penyakit, seperti lalat. ”Semua bangkai pada dasarnya merupakan penyebar penyakit, akibatnya bermunculan kasus tifus atau kolera,” ujarnya.

Patah tulang dan tetanus
Gempa yang diikuti tsunami mengakibatkan kerusakan bangunan sehingga kerap terjadi patah tulang dan luka-luka pada warga yang tertimpa runtuhan.
Bella Donna mengungkapkan, puing-puing, termasuk bagian tajam besi atau paku yang berkarat, jika melukai tubuh rawan pula menimbulkan tetanus dan infeksi. Pada situasi demikian, pertolongan pertama menjadi sangat penting. Jika tetanus dibiarkan dapat menelan korban jiwa.
Tak hanya berbagai ancaman di atas. Situasi serba darurat, perburukan lingkungan, minimnya air bersih, dan kerusakan sejumlah fasilitas kesehatan, jika tidak diantisipasi dengan baik, akan menurunkan kualitas kesehatan warga. Bencana kerap diikuti dengan adanya kantong-kantong pengungsian. Masalah pada pengungsian terkait kepadatan orang berkumpul dan daya tahan tubuh rendah. Kondisi tubuh pengungsi biasanya melemah akibat kelelahan dan stres.
Ketiadaan sarana pembuangan limbah (air bekas cuci piring dan sayur), pembuangan kotoran manusia, penyediaan air bersih, dan pembuangan sampah memunculkan tempat perkembangbiakan kuman dan vektor penyakit.
Bahan polutan dari gunung berapi dapat pula mengontaminasi sumur minum atau sumber makanan penduduk. Pencemaran dan tidak baiknya kondisi pengungsian meningkatkan risiko penyebaran penyakit menular, seperti diare, kulit, infeksi saluran napas akut, serta demam berdarah dengue dan malaria.
Bella Donna mengatakan, dengan menjalani perilaku hidup bersih dan sehat di pengungsian serta sigapnya penanganan dari pemerintah, setidaknya sebagian penyakit dapat dicegah.  
(INE/www.bnpb.go.id)

Tidak ada komentar: